Selasa, 27 Januari 2015

Konflik Antar Agama Yang Ada Di Indonesia

           Semua ajaran agama pada dasarnya ba­ik dan mengajak kepada kebaikan. Na­­­mun nyatanya tidak semua yang di­anggap baik itu bisa bertemu dan se­iring sejalan. Bahkan, sekali waktu da­pat terjadi pertentangan antara yang sa­­­­tu dengan yang lain. Alasannya tentu ber­­ma­cam-macam. Misalnya, tidak mes­ti yang dianggap baik itu benar. Juga, a­pa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain  yang dapat dimuncul­kan.

Menurut Joachim Wach, seorang sar­jana ahli dalam sosiologi agama, se­tidaknya terdapat dua pandangan ter­hadap kehadiran agama dalam suatu ma­sya­rakat, negatif dan positif. Pen­dapat  pertama mengatakan, ketika a­ga­ma hadir dalam satu komunitas,  perpecahan tak dapat dielakkan. Dalam hal ini, agama dinilai sebagai faktor dis­integrasi. Mengapa? Salah satu se­babnya adalah ia hadir dengan se­perangkat ritual dan sistem ke­percayaan yang lama-lama melahirkan sua­tu komunitas tersendiri yang ber­beda dari komunitas pemeluk agama la­in. Rasa perbedaan tadi kian intensif ke­tika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan bah­wa satu-satunya agama yang benar a­dalah agama yang dipeluknya. Se­dangkan yang lain salah dan kalau per­lu dimusuhi.

Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan se­bagai faktor integrasi. Katakanlah ke­tika masyarakat hidup dalam suku-su­ku dengan sentimen sukuisme yang ting­gi, bahkan di sana berlaku hukum rim­ba, biasanya agama mampu ber­peran memberikan ikatan baru yang le­bih menyeluruh sehingga terkuburlah ke­pingan-kepingan sentimen lama sum­ber perpecahan tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang ba­ku, bentuk ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hu­bung­an sosial mempunyai da­­ya ikat yang amat kuat bagi integrasi masya­rakat.[5]

Teori di atas bagi bangsa Indonesia a­mat mudah dipahami. Sebelum Islam da­tang, bentuk persatuan memang su­dah ada dan terjalin kuat di bumi nu­santara ini. Apa yang mengikat? Bisa ja­di oleh emosionalitas keyakinan pada a­gama Hindu atau Buddha, atau bisa sa­ja karena rasa sukuisme (ikatan a­gama dalam sosiologi kadang-kadang di se­jajarkan dengan ikatan kesukuan, bah­kan juga nasionalisme. Misalnya o­leh Durkheim). Tetapi pada hal ter­sebut kita bertanya, sejauh mana dan se­berapa kuat rasa persatuan (in­tegrasi) tadi terwujud? Tanpa mengu­rangi rasa homat pada Hayamwuruk dan Gajah mada dari Majapahit dalam me­rintis persatuan nusantara, ba­gaimana pun juga kehadiran Islam di nu­santara mempunyai andil yang a­mat besar dalam menciptakan Negara Ke­satuan Republik Indonesia, dari u­jung Sumatera sampai ujung Timor.

Dalam kaitan ini, thesis yang amat me­narik diajukan oleh Prof. Dr. Naquib al-Attas dari Universitas Malaysia, bah­wa berkat Islamlah maka bahasa Me­layu berkembang cepat di nusantara i­ni, yang pada akhirnya diresmikan se­bagai bahasa Indonesia, bahasa na­sional. Mengapa bahasa Melayu yang re­latif digunakan oleh kelompok kecil sang­gup mengeser bahasa Jawa yang do­minan? Naquib menjawab, bahasa Ja­wa telah dirasuki falsafah Hindu yang feo­dalistik dan membagi manusia pada ke­las-kelas, sementara Islam yang ber­sifat demokratis, tidak mengenal kelas. Sa­tu-satunya alternatif  yang tepat a­dalah berkomunikasi dengan bahasa Me­layu. Jalinan antara sifat Islam yang de­mokratis, bahasa Melayu yang di­gunakan, lalu disebarkan oleh para pe­dagang yang merangkap sebagai juru dak­wah, maka pada waktu yang relatif sing­kat tersebarlah bahasa Melayu ke seantero nu­santara ini. Islam memperkuat pe­nyebaran bahasa, bahasa mendorong ser­ta memperkuat timbulnya persatuan nu­santara, dan pada gilirannya lahirlah ke­satuan nasional dengan Islam se­bagai dasarnya, ditambah bahasa Melayu dan na­sionalisme sebagai pilarnya.
Dengan demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana pun juga ke­hadiran dan eksistensi  Islam di In­donesia ini jelas merupakan faktor in­tegrasi sekaligus konflik yang amat besar, yang mam­pu mengikis friksi-friksi sukuisme se­belumnya.


Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain.

Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di Maluku pada awalnya disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, karena isu agama itu muncul belakangan.
Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan non keagamaan

Sumber : http://msibki3.blogspot.com/2013/03/konflik-agama-agama-di-indonesia.html

Rangkuman Ilmu Sosial Dasar

PENGERTIAN ILMU SOSIAL DASAR

  1. Pengertian Ilmu Sosial Dasar adalah pengetahuan yang menelaah masalah-masalah sosial, khususnya masalah-masalah yg diwujudkan oleh masyarakat Indonesia, dengan menggunakan Teori-teori (fakta, konsep, teori) yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu-ilmu sosial seperti : sejarah, ekonomi, geografi sosial, antropologi,psykologi sosial.
    Ilmu Sosial Dasar tidak merupakan gabungan dari ilmu-ilmu sosial yang dipadukann, karena masing-masing sebagai disiplin ilmu memiliki objek dan metode ilmiahna sendiri-senndiri ang tidak mungkin di padukan 
  2.  Tujuan 
  • Memahami dan menyadari adanya kenyataan-kenyataan sosial dan masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat.
  • Peka terhadap masalah-masalah sosial dan tanggap untuk ikut serta dalam usaha-usaha menanggulanginya
  • Menyadari bahwa setiap masalah sosial yang timbul dalam masyarakat selalu bersifat kompleks dan hanya dapat mempelajarinya secara kritis-interdisipliner
  • Memahami jalan pikiran parah ahli dari bidang ilmu pengetahuan lain dan dapat berkomunikasi dengan mereka dalam rangka penanggulangan masalah sosial yang timbul dalam masyarakat
Pokok Bahasan Ilmu Sosial Dasar
1. Pengertian, latar belakang serta ruang lingkup pembahasan.
2. Sekilas tentang ilmu-ilmu sosial, IPS, ilmu sosial, dan Ilmu Sosial Dasar.
3. Penduduk, masyarakat dan kebudayaan.
4. Individu, keluarga, dan masyarakat.
5. Pemuda dan sosialisasi serta peranan pemuda dalam pembangunan masyarakat.
6. Peranan pendidikan dlm pembangunan.
7. Warga negara dan negara.
8. Pelapisan sosial desa, kesamaan derajat.
9. Desa, masyarakat kota dan pembangunan pedesaan.
10. Kota, masyarakat kota, dan pembangunan perkotaan.
11. Pertentangan-pertentangan sosial.
12. Integrasi sosial dan integrasi nasional.
13. Pembangunan dan perubahan sosial.
14. Ilmu pengetahuan, teknologi dan kemiskina
n.


 sumber : http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/mkdu_isd/bab1-ilmu_sosial_dasar_sebagai_salah_satu_mata_kuliah_umum.pdf

KESETARAAN GENDER

Pengertian kesetaraan gender merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Interpretasi lebih jauh mengenai hal itu, yakni agar keduanya atau yang lebih ditekankan di sini adalah kaum perempuan, mampu berperan dan berpartisipasi dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan. Wacana akan kesetaraan gender bukanlah barang kemarin sore, pada zaman R.A. Kartini tuntutan akan kesetaraan dan keadilan gender sudah muncul, lebih jauh dari itu semua Islam sudah membahasnya secara jelas dan tuntas. Tuntutan era globalisasi tak bisa dipungkiri menjadi landasan wacana ini muncul. Pada era modern seperti sekarang ini kesetaraan gender telah menimbulkan polemik dan memunculkan pandangan pro dan kontra. Pada hakikatnya peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan jelas berbeda, peran dan fungsi keduanya boleh dikatakan tidak bisa disejajarkan. Apabila keduanya disetarakan dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Realita yang ada, tidak bisa dipungkiri bahwa antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan-perbedaan mendasar. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda.Pengertian gender sendiri adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan.Peran yang ketiga menjadi peran yang lebih besar dan penting. Tentu kita semua tahu dan paham bahwa peran tersebut hanya dimiliki oleh perempuan. Peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan tidak berjalan sendiri-sendiri. Peran dan fungsi dari keduanya harus berjalan bersama apabila peran dan fungsi keduanya berjalan bersama dan saling mengisi maka ibarat kopi dengan gula keduanya akan terasa nikmat dan memberikan efek harmonis.
Kesetaraan gender sering dikaitkan dengan hak asasi manusia, batasan hak asasi manusia sendiri ada dua, yaitu yang dianggap sebagai hak asasi dan resiprositas (hak asasi miliknya tidak menganggu hak asasi orang lain). Cakupan dari hak asasi secara universal berkaitan dengan manusia, cakupan secara relatif dari hak asasi tersebut yaitu norma sosial dan ideologi. Setara tak mesti sama, kesetaraan adalah klaim etis yang berusaha mengatakan bahwa semua manusia berkedudukan setara. Kesetaraan itu lebih kepada praktek penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan.
Isu kesetaraan gender telah menyita perhatian banyak kalangan masyarakat, di atas tadi telah dijelaskan tentang pengertian kesetaraan dan keadilan gender. Realitas yang berkembang di masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan itu sendiri belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal itulah yang mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki menjadi faktor utama terjadinya kesenjangan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan. Penafsiran ajaran agama yang kurang menyeluruh atau cenderung  dipahami menurut tulisan, kurang memahami realitas, dan cenderung dipahami secara sepotong-sepotong dan tidak menyeluruh, menjadi faktor pendukung akan adanya kesenjangan peran dan fungsi serta terjadinya diskriminasi yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Kaum perempuan sendiri tidak memiliki kemampuan, kemauan dan kesiapan untuk merubah keadaan tidak secara nyata dilaksanakan.
Di Indonesia sendiri wacana tentang RUU keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi perbincangan hangat bagi sebagian orang. Hal tersebut bagi sebagian kalangan masyarakat dipandang sebagai racun atau virus yang disebarkan oleh kalangan liberalis karena hal tersebut akan bermuara kepada kebebasan individu, yang mana hal tersebut merujuk kepada kebebasan individu kaum perempuan. Namun, sebagian kalangan lain yaitu kaum feminisme sangat mendukung dan menuntut akan adanya hal ini.
Al Quran menyatakan kepada kita bahwa apabila kita mengalami perbedaan pendapat dalam suatu perkara, maka seharusnya kita merujuk kembali kepada Tuhan dan Rasul-Nya untuk memutuskan perkara tersebut.Membicarakan keadilan dan kesetaraan (gender issues) akan lebih jelas jika dibahas melalui perspektif Islam di  dalam  Hukum Islam. Yang mana Hukum Islam tidak bisa kita lepaskan dari tuntunan Al Quran dan Hadist sebagai sumber pokok dari Hukum Islam itu sendiri. Islam sudah memberikan jawaban jauh berpuluh-puluh abad yang lalu mengenai hal ini. Kita perlu mempelajari secara mendalam agar kita tidak tersesat dalam menafsirkan mengenai kesetaraan dan keadilan gender. Seperti yang sudah diutarakan di atas tadi bahwa tuntutan era globalisasi menjadi dasar berkembangnya isu kesetaraan gender. Ketika Amerika Serikat masih sibuk dan bekerja keras mengatasi  isu-isu kesetaraan gender, Al Quran telah secara tuntas menjawabnya.
Perempuan selama ini dianggap sebagai kaum yang lemah, cengeng, dan tidak berdaya. Tidak bisa dipungkiri asumsi tersebut masih ada dan berkembang di sebagian kalangan masyarakat. Islam menempatkan kedudukan perempuan pada proporsinya dengan mengakui kemanusiaan mereka dan mengikis habis kegelapan yang dialami perempuan sepanjang sejarah, serta menjamin hak-hak perempuan. Islam mengakui kapabilitas dan kemampuan ekonomi perempuan dan menjadikan perempuan sebagai saudara kandung kaum laki-laki. Islam juga mengakui kemampuan sosial perempuan dan kemampuan beribadah dan taklif shar’I, sehingga kaum perempuan mampu berperan dalam kehidupan masyarakat. Agama Islam merupakan agama yang mempunyai prinsip-prinsip keadilan gender. Salah satu prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antar manusia baik dari segi gender, kebangsaan, kesukuan maupun keturunan. Perbedaan yang harus di garis bawahi di sini adalah perbedaan mengenai tingkat ketakwaan dan pengabdiaanya kepada Allah SWT.
Isu kesetaraan gender yang hendak diangkat menjadi UU, lewat RUU KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender) bagi sebagian kalangan masyarakat khususnya para ulama sangat tidak setuju dengan adanya hal tersebut. Bukan hanya itu, mereka pun mengatakan bahwa kesetaraan gender adalah virus yang disebarkan oleh kaum liberalis barat yang mencoba melepaskan agama dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya UU KKG tersebut, kaum liberalis mencoba meliberalkan perempuan dari hukum Allah, mensekulerisasikan perempuan Muslim, atas nama gender. Inti dari RUU KKG ini berniat menyamakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan wanita.
Kesetaraan gender telah menimbulkan dilema bagi perempuan itu sendiri. Agama, khususnya Islam adalah solusi yang tepat dari dilema yang ada, kita harus jelas kepada siapa kita berpegang. Kepada kebenaran yang bersumber dari Tuhan atau berpegang kepada kebenaran yang kita cari dan dapatkan sendiri yang belum tentu benar? Dalam agama sendiri sudah jelas mengatur secara adil tentang peran dan fungsi masing-masing sesuai kodrat. Lalu, masih perlukah sebuah tanda tanya besar mengenai problematika ini muncul? Yang ada hanyalah tinggal kita sebagai makhluk yang beragama ini mempelajari apa yang sudah ada. Menafsirkan secara mendalam apa yang telah diturunkan kepada kita dan tidak perlu mencari kebenaran-kebenaran lain yang justru menyesatkan. Apakah kita akan mendustakan agama kita sendiri? Atau kita akan melawan logika Tuhan?


SUMBER BACAAN :